TINJAUAN
THEORY
BRONKITIS
Bronchitis pada anak
dapat merupakan bagian dari banyak penyakit pernafasan lainnya. Namun
bronchitis dapat juga merupakan penyakit tersendiri.
Sebagai penyakit
tersendiri, bronchitis merupakan topic yang masih diliputi kontroversi dan
ketidak jelasan diantara para klinikus dan penyelidik. Bronchitis sering
merupakan diagnosis yang ditegakkan, baik di negeri Barat maupun di Indonesia
(taussig, 1982; Raharjoe, 1984), walaupun walaupun dengan patokan diagnosis
yang tidak selalu sama. Bahkan Stern (1983) meragukan adanya bronchitis kronik
pada anak sebagai penyakit tersendiri. Kesimpang siuran definisi bronchitis
pada anak bertambah karena kurangnya consensus mengenai hal ini. Tetapi keadaan
ini sukar dielakkan karena data hasil penyelidikan mengenai hal ini masih
sangat kurang.
BRONKITIS
AKUT
Bronchitis
akut pada anak yang biasanya bersamaan juga dengan trakeitis merupakan penyakit
infeksi saluran nafas akut (ISNA) bawah yang sering dijumpai dan penyebabnya
terutama virus. Batuk merupakan gejala yang dank arena batuk berhubungan dengan
ISNA atas menunjukkan bahwa peradangan tersebut meliputi juga laring, trakea
dan bronkus.
Etiologi
Virus
merupakan penyebab tersering. Sebagai contoh misalnya Rhinovirus Respiratory
Sincytial Virus (RSV), virus influenza, virus parainfluensa, adenovirus, dan
Coxsackie virus. Bronchitis akut selalu terdapat pada anak yang menderita
morbili, pertusis dan infeksi Mycoplasma pneumonia. Belum ada bukti yang
meyakinkan bahwa bakteri lain merupakan penyebab primer bronchitis pada anak.
Di lingkungan sosio-ekonomi yang baik jarang terdapat infeksi sekunder oleh
bakteri.
Faktor
predisposisi
Alergi,
cuaca, polusi udara dan infeksisaluran nafas atas kronik dapaat memudahkan
terjadinya bronchitis akut.
Manifestasi
klinis
Biasanya
di mulai dengan tanda-tanda ISNA atas oleh virus. Batuk mula-mula kering,
setelah dua atau tiga hari batuk mulai berdahak dan menimbulkan suara adanya
lender. Dahak yang mukoid kental sering tidak kelihatan karena tertelan. Dahak
kental dan kuning tetapi ini bukan berarti adanya infeksi bakteri skunder. Anak
mula-mula tidak dapat napas dan kadang-kadang pada anak besar mengeluh rasa
sakit retrosternal. Pada beberapa hari pertama tidak ada tanda kelainan pada
pemeriksaan dada, tetapi kemudian dapat timbul ronki basah kasar dan suara
napas kasar.
Batuk
biasanya hilang setelah satu atau dua minggu. Bila setelah dua minggu batuk
tetap ada mungkin terdapat kolaps paru segmental atau terdapat infeksi paru
skunder.
Mengi
(wheezing) mungkin saja terdapat pada penderita bronchitis. Mengi ini dapat
murni merupakan tanda bronchitis akut tetapi perlu juga diingat kemungkinan
manifestasi asma asma pada anak tersebut, lebih-lebih bila keadaan seperti ini
terjadi berulang. Istilah bronchitis asmatika dan asmatik bronchitis sebaiknya
dihindarkan saja.
Penatalaksanaan
Berhubung
penyebab utama virus maka belum ada obat yang kausal. Antibiotik tidak ada
gunanya. Obat panas, banyak minum terutama buah-buahan sudah sangat memadai.
Obat penekan batuk tidak boleh duiberikan pada batuk yang banyak lendir.
Mukolitik tidak lebih baik daripada banyak minum.
Bila
batuk tetap ada dan tidak ada tanda-tanda perbaikan setelah 2 minggu maka
kemungkinan infeksi bakteri skunder boleh dicurigai dan dapat diberikan
antibiotic, asal sudah disingkirkan kemungkinan asma dan pertusis. Anti biotic
yang dianjurkan adalah adalah yang serasi untuk S. pneumonia dan H. influenzae
sebagai bakteri penyerang skunder misalnya amoksilin, kotrimoksasol dan
golongan makrodile. Berikan antibiotic tujuh sampai sepuluh hari dan bila tidak
berhasil perlu dilakukan rontgen foto thoraks untuk menyingkirkan kemungkinan
kolaps paru segmental dan lober, benda asing dalam saluran nafas dan
tuberculosis.
Bila
bronchitis akut terjadi berulang kali perlu diselidiki kemungkinan adanya
kelainan saluran nafas, benda asing, bronkiektasis, defisiensi imunologis,
hiperaktivitas bronkus dan ISNA atas yang belum teratasi.
Prognosis
Bila
tidak ada komplikasi, prognosis umumnya baik. Pada bronchitis akut yang
berulang disertai merokok terus-terusan secara teratur cenderung menjadi
bronchitis kroniks pada waktu dewasa.
BRONKITIS
KRONIK
Belum
ada penyesuaian pendapat mengenai definisi bronchitis kronik pada anak seperti
telah dikemukakan sebelumnya. Dengan demikian penanggulangan anak dengan gejala
utama batuk kronik dan atau berulang dapat beraneka ragam dengan kemungkinan
justru merugikan penderita. Kesepakatan batuk kronik dan atau batuk berulang
(BKB) ialah keadaan klinis yang disebabkan oleh berbagai penyakit dengan gejala batuk yang berlangsung
sekurang-kurangnya selama 2 minggu berturut-turut dan atau berulang paling
sedikit 3 kali dalam 3 bulan dengan atau tanpa disertai respitratorik dan non
respiratorik lainnya (KONIKA, 1981). Dengan memakai batasan ini secara klinis
jelas terlihat bahwa bronchitis kronik termasuk dalam kelompok BKB tersebut. Dalam keadaan kurangnya data
penyelidikan mengenai bronchitis kronik pada anak maka untuk menegakkan
diagnosis bronchitis kronik baru dapat ditegakkan setelah menyingkirkan semua
penyebab lainnya dari BKB.
Diagnosis banding bronchitis kronik dan
BKB pada anak.
1.
Etiologi
spesifik
1.
Asma (hiperaktifitas saluran nafas)
2.
Infeksi kronik saluran nafas bagian atas
(misalnya sinobronkitis).
3.
Infeksi, misalnya bertambahnya kontak
dengan virus, infeksi mycoplasma, clamydia, pertusis, tuberculosis, jamur.
4.
Penyakit paru yang telah ada, misalnya
bronkiektasis
5.
Sindrom aspirasi
6.
Penekanan pada saluran nafas
7.
Benda asing
8.
Kelainan jantung bawaan
9.
Kelainan silia primer
10.
Defisiensi imunologis
11.
Kekurangan alfa-1-antitripsin
12.
Fibrosis kistik
13.
Psikis
2.
Iritasi
non spesifik saluran nafas
(factor yang menambah terjadinya BKB)
1. Asap
rokok
2. Polusi
udara
(phelan, 1982;
Loughlin, 1983; Boat, 1983; Morgan, 1984)
Prevalensi
Belum adanya definisi bronchitis kronik pada anak dapat
menimbulkan kesimpang-siuran pada penyelidikan epidemiologis sehingga
menimbulkan kesulitan dalam menentukan prevalensi. Pada penyelidikannya
mengenai bronchitis kronik pada anak, Peat dkk (1980) memakai definisi batuk
produktif yang mendapat pengobatan pengobatan dan berlangsung lebih dari 2
minggu, mendapatkan prevalensi 14-24% di antara anak sekolah berumur 9-18 tahun
di Sydney. Mereka mendapatkan angka untuk bronchitis 3 kali lebih tinggi
daripada angka asma dan pada anak laki-laki lebih tinggi daripada anak wanirta.
Dengan definisi bronchitis kronik yang berbeda-beda, para penyelidik lain
mendapatkan angka angka yang berbeda pulas (tablel 1). Apabila bronchitis akut
dan bronchitis kronik dipisahkan, Kubo (1978) mendapatkan prevalensi yang
rendah.
Table
1 : Prevalensi Bronkiris pada Anak
Sumber
|
Tahun
|
Penyelidikan
|
Prevalensi
bronkitis
|
Perbandingan
Asma
: Bronkitis
|
Hall
Bland
Burrows
Burrows
Kubo
Peat
|
1972
1974
1975
1977
1978
1980
|
Anak Tasmania
Anak sekolah Kent
(akut dan kronik)
Anak Arizona (kronik)
Arizona, keusioner,
Retrospektif,
(kronik)
Anak Jepang (kronik
dan berulang)
Anak sekolah Sydney
|
32%
5,5%
7,1%
46,4%
1,4%
20%
|
-
1 : 5
-
1 : 1,6
3,4 : 1
1:3
|
Dari penelitian dengan keusioner
(Raharjoe dkk., 1984) dengan cara seperti Taussing (1982), didapat kesan bahwa
diagnosis bronchitis kronik pada anak tidak jarang ditemukan di Indonesia dan
lebih sering dibanding dengan yang dilakukan oleh Taussing di Amerika Serikat.
Apakah ini berarti bronchitis kronik pada anak memang lebih sering didapatkan
di Indonesia, masih perlu penyelidikan lebih lanjut.
Sebagian besar responden memakai batuk lebih dari 2
minggu dan berulang (‘recurent episode of prolonged cough’) sebagai criteria
diagnosis. Lebih kurang separuh responden menganggap penting mengi untuk
criteria diagnosis dan lebih kurang dua pertiga responden kadang-kadang
mendiagnosis bronchitis kronik pada anak yang juga menderita alergi dan asma.
Jadi pendapat responden di Indonesia sama dengan pendapat dokter di Tucson,
Amerika serikat. Pada penyelidikan Taussing (1981), bahwa antara bronchitis
kronik dan asma sukar dipisahkan dengan tegas.
Patogenesis
Gambaran patologi bronchitis pada anak juga belum jelas
karena datanya masih terbatas. Pada orang dewasa gambaran patologis bronchitis
kronik adalah sebagai berikut: penebalan dinding bronkus, hipertropi kelenjar
mukosa, hipertropi sel globet, epitel mengalami metaplasi skuamosa dan inflasi
kronik. Szekely dan Farkas (1978) membandingkan hasil biopsy 59 anak tanpa asma
tetapi mempunyai gejala inflamasi kronik bronkus dengan hasil biopsy pada anak
dengan asma (lihat tabel 2}
Table
2: Gambaran Patologis Bronkitis dan Asma pada Anak
Karakteristik
|
Bronchitis
kronik
|
Asma
|
Infiltrasi sel bulat
Eusinofil
Hipertrofi kelenjar submukosa
Mucus bertambah
Metaplasia epitel
Epithelium utuh
|
100%
14%
39%
20%
0%
86%
|
100%
49%
20%
12%
6%
86%
|
Hipertrofi kelenjar mukosa yang
merupakan tanda yang khas bronchitis kronik pada orang dewasa hanya terdapat
39% pada anak. Demikian juga metaplasia epitel sangat jarang pada anak. Bahkan
data biopsy tersebut menunjukkan bahwa gambaran patologis bronchitis kronik
pada anak sangat mirip dengan gambaran patologis asma. Kelainan klinis yang
lama pada bronchitis kronik menimbulkan dugaan adanya suatu reaksi inflamasi
yang berlebihan terhadap gangguan saluran nafas atau kontak terus
menerus-menerus dengan bahan yang berbahaya dalam lingkungan. Akibatnya terjadi
kerusakan saluran nafas sehingga terjadi gangguan pembersihan lendir, lendir
dihasilkan lebih banyak dan batuk basah. Tergantung pada tingkat kerusakan
saluran nafas dan peningkatan tahanan aliran udara, mungkin akan terjadi mengi.
Menyempitnya saluran nafas mungkin juga mengurangi kemampuan kerja dan menurunkan
daya tahan saluran nafas terhadap infeksi virus (Issacs dkk, 1982). Inflamasi,
edema dan produksi mucus yang bertambah, timbul dan menghilang lebih lambat
daripada timbul dan menghilangnya bronkospasme. Tergantung pada keseimbangan
antara reaksi yang lambat dan cepat itulah kesan penemuan klinis didapat. Anak
dengan reaktifitas otot bronkus yang kurang tetapi produksi lendirnya lebih
banyak akan menunjukkan batuk produktif yang lama dan ditemukan sebagai
bronchitis kronik.
Bronchitis kronik vs Asma
Asma harus dipertimbangkan sebagai
diagnosis yang paling mungkin bila menghadapi anak dengan gejala seperti
bronchitis kronik. Williams dan McNicol (1969) menemukan kesamaan klinis,
patologi dan epidemiologi antara bronchitis dengan mengi atau bronchitis kronik
dan asma. Burrows dkk (1975) mendapatkan bahwa pada 74% anak yang didiagnosis
sebagai bronchitis kronik terdapat mengi, sedangkan batuk kronik hanya terdapat
pada 33%. Demikian pula gambaran yang didapat dari penelitian Taussing dkk
(1981), Raharjoe dkk (1984) dan dari laporan Hamman dkk (1975) bahwa bronchitis
kronik pada anak sering didiagnosis atau ditemukan bersana diagnosis asma.
Tetapi harus diingat bahwa seperti jug a batuk, mengi adalah gejala yang tidak
spesifik. Mengi hanya menunjukkan adanya penyempitan saluran nafas dan tidak
tergantung pada bagaimana mekanisme terjadinya. Lenny dan Milner (1978)
menemukan adanya hiperaktivitas pada 87% anak prasekolah dengan bronchitis dan
mengi. Koning dkk (1972, 1973) selain mendapatkan hiperaktivitas juga menemukan
riwayat atopi dalam keluarga anak dengan bronchitis dan mengi. Sibbald (1980)
menemukan bukti lebih lanjut ketika mendapatkan angka kejadian asma dalam
keluarga anak asma. Agaknya factor yang membedakan bronchitis kronik dengan
mengi dan asma adalah apakah inflamasi saluran nafas atau bronkospasme yang
lebih menonjol saat anak itu didiagnosis. Cloutier dan Loughlin (1981)
mendapatkan pula suatu kenyataan bahwa batuk kronik merupakan gejala asma
satu-satunya karena tidak didapatkan gejala mengi.
Akibat jangka panjang
Banyak penyelidikan yang
menghubungkan bronchitis kronik sebagai factor terjadinya gangguan fungsi paru
dan gejala gangguan sasluran nafas kronik. Bland dkk (1974) menunjukkan bahwa
pada anak dengan riwayat bronchitis sebelum umur 5 tahun mempunyai resiko lebih
tinggi terhadap bronchitis, pilek, mengi, batuk dan produksi dahak pada umur 11
tahun. Wollcock dkk (1979) menunjukkan bahwa pada anak yang pada masa bayinya
menderita bronchitis, dikemudian hari terjadi kemungkinan terjadi gangguan
saluran nafas kronik akan lebih besar kalau merokok. Burrows dkk (1977)
mendapatkan hubungan antara penyakit saluran nafas pada anak dan gangguan
fungsi paru setelah umur 2o tahun; juga didapatkan bahwa merokok mempercepat
penurunan fungsi paru. Penemuan-penemuan tersebut mendukung pendapat bahwa
bronchitis kronik pada anak tidak dapat dianggap enteng karena dapat merupakan
factor predisposisi yang penting terhadap terjadinya kelainan paru kronik dan
gangguan fungsi paru pada masa dewasa dan merokok dapat memperburuk keadaan
tersebut. Pencegahan penyakit paru terhadap anak dapat merupakan sumbangan yang
besar dalam pencegahan penyakit paru kronik pada orang dewasa.
Penatalaksanaan
Berhubung banyaknya persamaan dan
hubungan yang erat antara anak dengan gejala seperti bronchitis kronik dengan
asma maka untuk tujuan pendekatan pengobatan sebaiknya dimasukkan dalam varian
asma dan mendapat pengelolaan seperti asma (lihaat bab asma)
Sebelum sampai pada diagnosis asma
perlu disingkirkan kemungkinan penyakit-penyakit yang termasuk dalam diagnosis
banding. Bila ditemukan penyakit tertentu diluar asma maka obati penyakit
dasarnya.
BRONKIOLITIS AKUT
Penyakit ini merupakan suatu sindrom
obstruksi bronkiolus yang sering diderita bayi dan anak kecil yang berumur
kurang dari 2 tahun. Angka kejadian tertinggi rata-rata ditemukan pada usia 6
bulan.
Etiologi
Bronkiolitis akut sebagian besar
disebabkan oleh Respiratory Syncytial Virus (50%). Penyebab lainnya ialah
Parainfluenza Virus, Eaton agent (Mycoplasma pneumonia), adenovirus dan
beberapa virus lain.
Patogenesis
Invasi virus menyebabkan obstruksi
bronkiolus akibat akumulasi mucus, debris dan edema. Terjadi resistensi aliran
udara pernapasan berbanding terbalik (dengan radius lumen pangkat empat), baik
pada fase inspirasi maupun fasee ekspirasi. Terdapat mekanisme klep yaitu
terperangkapnya udara yang menimbulkan overinflasi dada. Pertukaran udara yang
terganggu menyebabkan ventilasi berkurang dan hipoksemia, peningkatan frekuensi
napas sebagai kompensasi. Pada keadaan sangat berat dapat terjadi hiperkapnia.
Obstruksi total dan terserapnya udara dapat menyebabkan atelektasis.
Gangguan respiratorik jangka panjang
pasca bronkiolitis dapat timbul batuk berulang, mengi, dan hiperaktivitas
bronkus, yang cenderung membaik sebelum uisa sekolah. Komplikasi jangka panjang
lain yaitu bronkiolitis, obliterans dan sindrom paru hiperlusen unilateral
(Sindrom Swyer James), sering dihubungkan dengan adenovirus.
Manifestasi klinis
Bronkiolitis
akut biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas, disertai dengan
batuk pilek untuk beberapa hari, biasanya tanpa sertai kenaikan suhu atau
subfebril. Anak mulai mengalami sesak nafas, makin lama makin hebat, pernafasan
dangkal dan cepat dan disertai dengan serangan batuk. Terlihat juga pernafasan
cuping hidung disertai retraksi interkostal dan suprasternal, anak gelisah dan
sianotik. Pada pemeriksaan terdapat suara perkusi hipersonor, ekspirium memanjang
disertai dengan mengi (wheezing)
Ronki
nyaring halus kadang-kadang terdengar pada akhir ekspirium atau pada permulaan
ekspirium. Pada keadaan yang berat sekali, suara pernafasan hamper tidak
terdengar karena kemungkinan obstruksi hampir total. Foto rontgen thoraks
menunjukkan paru-paru dalam keadaan hipererasi dan diameter antero posterior
membesar pada foto lateral. Pada spertiga penderita ditemukan bercak-bercak
konsolidasi tersebar disebabkan etelektasis atau radang.
Pada
pemeriksaan laboratorium ditemukan gambaran darah tepi dalam batas normal,
kimia darah menunjukkan gambaran asidosis respiratorik maupun metabolic. Usapan
nasofaring menunjukkan flora bakteri normal.
Diagnosis dan diagnosis banding
Diagnosis ditegakkan atas dasar
gambaran klinis yang khas seperti tersebut di atas. Keadaan ini harus dibedakan
dengan asma yang kadang-kadang juga timbul pada usia muda. Anak dengan asma
akan memberikan respon terhadap pengobatan dengan bronkodilator, sedangkan anak
dengan bronkiolitis tidak. Bronkiolitis juga harus dibedakan dengan
bronkopneumonia yang diserta emfisema obstruktif dan gagal jantung.
Pemeriksaan Penunjang
v Foto
dada AP dan lateral: hiperin flasi paru, diameter anteroposterior membesar pada
foto lateral, dapat terlihat bercak konsolidasi yang tersebar.
v Analisi
gas darah: hiperkarbia sebagai tanda air
troaping, asidosis metabolic, atau respiratorik.
v Pemeriksaan
deteksi cepa antigen RSV yang dapat dikerjakan secara bedside.
\
Prognosis
Anak biasanya dapat mengatasi
serangat tersebut sesudah 48-72 jam. Mortalitas kurang dari 1%. Anak biasanya
meninggal karena jatuh dalam keadaan apnu yang lama, asidosis respiratorik yang
tidak terkoreksi atau karena dehidrasi yang disebabkan oleh takipnea dan
kurangnya makan minum. Komplikasi seperti otitis media akut, pneumonia
bacterial dan gagal jantung jarang dijumpai.
Penatalaksanaan
a) Oksigen
1-2L/menit.
b) IVFD:
·
Neonates: dektrose 10%:NaCl 0,9%=4:1,
+KCl 1-2 mEq/BB/hari
·
Bayi >1 bulan: dektrose 10% : NaCl
0,9%= 3:1, + KCl 10 mEq/500 ml cairan. Jumlah cairan sesuai berat badan,
kenaikan suhu, dan status hidrasi
c)
Koreksi gangguan asam basa dan
elektrolit.
d)
Antibiotic sebenarnya tidak diperlukan,
tetapi karena sukar dibedakan dengan pneumonia interstisialis, antibiotic tetap
diperlukan.
Untuk kasus bronkiolitis community base:
Untuk kasus bronkiolitis community base:
·
Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dalam 4 kali
pemberian.
·
Kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dalam 4
kali pemberian.
Untuk kasus bronkiolitis hospital base:
·
Sefotaksim 100 mg/kgBB/hari dalam 2 kali
pemberian.
·
Amikasin 10-15 mg/kgBB/hari dalam 2 kali
pemberian.
Ø Steroid:
deksametason 0,5 mg/kgBB inisial, dilanjutkan 0,5 mg/kgBB/hari dibagi 3-4
dosis.
Ø Inhalasi
dengan salin normal dan beta agonis untu memperbaiki transport mukosilier.
Anak
harus ditemptkan dalam ruangan denagn kelembaban udara yang tinggi, sebaiknya
dengan uap dingin (mist tent). Keadaan ini dapat mencairkan secret bronkus yang
liat. Untuk tujuan ini dapat juga diberikan pengobatan inhalasi. Oksigen perlu
diberikan walaupun anak belum dalam keadaan sianosis. Cairan intravena dengan
elektrolit yang diprlukan diberikan untuk mengoreksi asidosis respiratorik dan
metabolic yang mungkin timbul dan juga untuk mengoreksi kemungkinan dehidrasi.
Antibiotic diberikan apabila tersangka ada infeksi bakteri dan sebaiknya dipilih
yang mempunyai spectrum luas. Bila dicurigai Mycoplasma pneumonia sebagai
penyebabnya, obat yang terpilih ialah eritromisin. Tentang pemberian steroid
belum ada keseragaman. Pemberian sedativum tidak diperkenankan, Karena dapat
menimbulkan depresi pernafasan. Bila dianggap perlu dapat diberikan
kloralhidrat. Bronkodlitor juga tidak dianjurkan dan sebetulnya merupakan
indikasi kontra, karena dapat memperberat keadaan anak. Penderita dapat menjadi
lebih gelisah dan keperluan oksigen akan meningkat.
Secara umum, penanganan bronkiolitis dapat
dirangkum sebagai berikut:
Keparahan
|
Tanda
|
Penanganan
|
Ringan
|
|
Dapat ditangani di
rumah dengan istirahat dan makan lebih sering dalam porsi kecil. Dapat
dilakukan kunjungan follow-up ke dokter dalam 24 jam.
|
Sedang
|
Salah satu di
antara:
|
Bawa ke RS, di RS
akan dilakukan:
|
Berat
|
Seperti kriteria
untuk kategori sedang, namun:
|
|
0 komentar:
Posting Komentar