Vinculos patrocinados

Kamis, 04 Oktober 2012

Bronkitis & Bronkiolitis


TINJAUAN THEORY


BRONKITIS
Bronchitis pada anak dapat merupakan bagian dari banyak penyakit pernafasan lainnya. Namun bronchitis dapat juga merupakan penyakit tersendiri.
Sebagai penyakit tersendiri, bronchitis merupakan topic yang masih diliputi kontroversi dan ketidak jelasan diantara para klinikus dan penyelidik. Bronchitis sering merupakan diagnosis yang ditegakkan, baik di negeri Barat maupun di Indonesia (taussig, 1982; Raharjoe, 1984), walaupun walaupun dengan patokan diagnosis yang tidak selalu sama. Bahkan Stern (1983) meragukan adanya bronchitis kronik pada anak sebagai penyakit tersendiri. Kesimpang siuran definisi bronchitis pada anak bertambah karena kurangnya consensus mengenai hal ini. Tetapi keadaan ini sukar dielakkan karena data hasil penyelidikan mengenai hal ini masih sangat kurang.


BRONKITIS AKUT
            Bronchitis akut pada anak yang biasanya bersamaan juga dengan trakeitis merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut (ISNA) bawah yang sering dijumpai dan penyebabnya terutama virus. Batuk merupakan gejala yang dank arena batuk berhubungan dengan ISNA atas menunjukkan bahwa peradangan tersebut meliputi juga laring, trakea dan bronkus.

Etiologi
            Virus merupakan penyebab tersering. Sebagai contoh misalnya Rhinovirus Respiratory Sincytial Virus (RSV), virus influenza, virus parainfluensa, adenovirus, dan Coxsackie virus. Bronchitis akut selalu terdapat pada anak yang menderita morbili, pertusis dan infeksi Mycoplasma pneumonia. Belum ada bukti yang meyakinkan bahwa bakteri lain merupakan penyebab primer bronchitis pada anak. Di lingkungan sosio-ekonomi yang baik jarang terdapat infeksi sekunder oleh bakteri.

Faktor predisposisi
            Alergi, cuaca, polusi udara dan infeksisaluran nafas atas kronik dapaat memudahkan terjadinya bronchitis akut.

Manifestasi klinis
            Biasanya di mulai dengan tanda-tanda ISNA atas oleh virus. Batuk mula-mula kering, setelah dua atau tiga hari batuk mulai berdahak dan menimbulkan suara adanya lender. Dahak yang mukoid kental sering tidak kelihatan karena tertelan. Dahak kental dan kuning tetapi ini bukan berarti adanya infeksi bakteri skunder. Anak mula-mula tidak dapat napas dan kadang-kadang pada anak besar mengeluh rasa sakit retrosternal. Pada beberapa hari pertama tidak ada tanda kelainan pada pemeriksaan dada, tetapi kemudian dapat timbul ronki basah kasar dan suara napas kasar.
            Batuk biasanya hilang setelah satu atau dua minggu. Bila setelah dua minggu batuk tetap ada mungkin terdapat kolaps paru segmental atau terdapat infeksi paru skunder.
            Mengi (wheezing) mungkin saja terdapat pada penderita bronchitis. Mengi ini dapat murni merupakan tanda bronchitis akut tetapi perlu juga diingat kemungkinan manifestasi asma asma pada anak tersebut, lebih-lebih bila keadaan seperti ini terjadi berulang. Istilah bronchitis asmatika dan asmatik bronchitis sebaiknya dihindarkan saja.

Penatalaksanaan
            Berhubung penyebab utama virus maka belum ada obat yang kausal. Antibiotik tidak ada gunanya. Obat panas, banyak minum terutama buah-buahan sudah sangat memadai. Obat penekan batuk tidak boleh duiberikan pada batuk yang banyak lendir. Mukolitik tidak lebih baik daripada banyak minum.
            Bila batuk tetap ada dan tidak ada tanda-tanda perbaikan setelah 2 minggu maka kemungkinan infeksi bakteri skunder boleh dicurigai dan dapat diberikan antibiotic, asal sudah disingkirkan kemungkinan asma dan pertusis. Anti biotic yang dianjurkan adalah adalah yang serasi untuk S. pneumonia dan H. influenzae sebagai bakteri penyerang skunder misalnya amoksilin, kotrimoksasol dan golongan makrodile. Berikan antibiotic tujuh sampai sepuluh hari dan bila tidak berhasil perlu dilakukan rontgen foto thoraks untuk menyingkirkan kemungkinan kolaps paru segmental dan lober, benda asing dalam saluran nafas dan tuberculosis.
            Bila bronchitis akut terjadi berulang kali perlu diselidiki kemungkinan adanya kelainan saluran nafas, benda asing, bronkiektasis, defisiensi imunologis, hiperaktivitas bronkus dan ISNA atas yang belum teratasi.

Prognosis
            Bila tidak ada komplikasi, prognosis umumnya baik. Pada bronchitis akut yang berulang disertai merokok terus-terusan secara teratur cenderung menjadi bronchitis kroniks pada waktu dewasa.

BRONKITIS KRONIK
            Belum ada penyesuaian pendapat mengenai definisi bronchitis kronik pada anak seperti telah dikemukakan sebelumnya. Dengan demikian penanggulangan anak dengan gejala utama batuk kronik dan atau berulang dapat beraneka ragam dengan kemungkinan justru merugikan penderita. Kesepakatan batuk kronik dan atau batuk berulang (BKB) ialah keadaan klinis yang disebabkan oleh berbagai penyakit  dengan gejala batuk yang berlangsung sekurang-kurangnya selama 2 minggu berturut-turut dan atau berulang paling sedikit 3 kali dalam 3 bulan dengan atau tanpa disertai respitratorik dan non respiratorik lainnya (KONIKA, 1981). Dengan memakai batasan ini secara klinis jelas terlihat bahwa bronchitis kronik termasuk dalam kelompok  BKB tersebut. Dalam keadaan kurangnya data penyelidikan mengenai bronchitis kronik pada anak maka untuk menegakkan diagnosis bronchitis kronik baru dapat ditegakkan setelah menyingkirkan semua penyebab lainnya dari BKB.

Diagnosis banding bronchitis kronik dan BKB pada anak.

1.      Etiologi spesifik
1.      Asma (hiperaktifitas saluran nafas)
2.      Infeksi kronik saluran nafas bagian atas (misalnya sinobronkitis).
3.      Infeksi, misalnya bertambahnya kontak dengan virus, infeksi mycoplasma, clamydia, pertusis, tuberculosis, jamur.
4.      Penyakit paru yang telah ada, misalnya bronkiektasis
5.      Sindrom aspirasi
6.      Penekanan pada saluran nafas
7.      Benda asing
8.      Kelainan jantung bawaan
9.      Kelainan silia primer
10.  Defisiensi imunologis
11.  Kekurangan alfa-1-antitripsin
12.  Fibrosis kistik
13.  Psikis

2.      Iritasi non spesifik saluran nafas
      (factor yang menambah terjadinya BKB)
1.      Asap rokok
2.      Polusi udara
(phelan, 1982; Loughlin, 1983; Boat, 1983; Morgan, 1984)

Prevalensi 
            Belum adanya definisi bronchitis kronik pada anak dapat menimbulkan kesimpang-siuran pada penyelidikan epidemiologis sehingga menimbulkan kesulitan dalam menentukan prevalensi. Pada penyelidikannya mengenai bronchitis kronik pada anak, Peat dkk (1980) memakai definisi batuk produktif yang mendapat pengobatan pengobatan dan berlangsung lebih dari 2 minggu, mendapatkan prevalensi 14-24% di antara anak sekolah berumur 9-18 tahun di Sydney. Mereka mendapatkan angka untuk bronchitis 3 kali lebih tinggi daripada angka asma dan pada anak laki-laki lebih tinggi daripada anak wanirta. Dengan definisi bronchitis kronik yang berbeda-beda, para penyelidik lain mendapatkan angka angka yang berbeda pulas (tablel 1). Apabila bronchitis akut dan bronchitis kronik dipisahkan, Kubo (1978) mendapatkan prevalensi yang rendah.
Table 1 : Prevalensi Bronkiris pada Anak

Sumber
Tahun
Penyelidikan
Prevalensi
bronkitis
Perbandingan
Asma : Bronkitis
Hall
Bland

Burrows
Burrows

Kubo

Peat
1972
1974

1975
1977

1978

1980
Anak Tasmania
Anak sekolah Kent
(akut dan kronik)
Anak Arizona (kronik)
Arizona, keusioner,
Retrospektif, (kronik)
Anak Jepang (kronik dan berulang)
Anak sekolah Sydney

32%
5,5%

7,1%
46,4%

1,4%

20%
-
1 : 5

-
1 : 1,6

3,4 : 1

1:3


Dari penelitian dengan keusioner (Raharjoe dkk., 1984) dengan cara seperti Taussing (1982), didapat kesan bahwa diagnosis bronchitis kronik pada anak tidak jarang ditemukan di Indonesia dan lebih sering dibanding dengan yang dilakukan oleh Taussing di Amerika Serikat. Apakah ini berarti bronchitis kronik pada anak memang lebih sering didapatkan di Indonesia, masih perlu penyelidikan lebih lanjut.
            Sebagian besar responden memakai batuk lebih dari 2 minggu dan berulang (‘recurent episode of prolonged cough’) sebagai criteria diagnosis. Lebih kurang separuh responden menganggap penting mengi untuk criteria diagnosis dan lebih kurang dua pertiga responden kadang-kadang mendiagnosis bronchitis kronik pada anak yang juga menderita alergi dan asma. Jadi pendapat responden di Indonesia sama dengan pendapat dokter di Tucson, Amerika serikat. Pada penyelidikan Taussing (1981), bahwa antara bronchitis kronik dan asma sukar dipisahkan dengan tegas.


Patogenesis
            Gambaran patologi bronchitis pada anak juga belum jelas karena datanya masih terbatas. Pada orang dewasa gambaran patologis bronchitis kronik adalah sebagai berikut: penebalan dinding bronkus, hipertropi kelenjar mukosa, hipertropi sel globet, epitel mengalami metaplasi skuamosa dan inflasi kronik. Szekely dan Farkas (1978) membandingkan hasil biopsy 59 anak tanpa asma tetapi mempunyai gejala inflamasi kronik bronkus dengan hasil biopsy pada anak dengan asma (lihat tabel 2}

Table 2: Gambaran Patologis Bronkitis dan Asma pada Anak

Karakteristik
Bronchitis kronik
Asma
Infiltrasi sel bulat
Eusinofil
Hipertrofi kelenjar submukosa
Mucus bertambah
Metaplasia epitel
Epithelium utuh
100%
14%
39%
20%
0%
86%
100%
49%
20%
12%
6%
86%

            Hipertrofi kelenjar mukosa yang merupakan tanda yang khas bronchitis kronik pada orang dewasa hanya terdapat 39% pada anak. Demikian juga metaplasia epitel sangat jarang pada anak. Bahkan data biopsy tersebut menunjukkan bahwa gambaran patologis bronchitis kronik pada anak sangat mirip dengan gambaran patologis asma. Kelainan klinis yang lama pada bronchitis kronik menimbulkan dugaan adanya suatu reaksi inflamasi yang berlebihan terhadap gangguan saluran nafas atau kontak terus menerus-menerus dengan bahan yang berbahaya dalam lingkungan. Akibatnya terjadi kerusakan saluran nafas sehingga terjadi gangguan pembersihan lendir, lendir dihasilkan lebih banyak dan batuk basah. Tergantung pada tingkat kerusakan saluran nafas dan peningkatan tahanan aliran udara, mungkin akan terjadi mengi. Menyempitnya saluran nafas mungkin juga mengurangi kemampuan kerja dan menurunkan daya tahan saluran nafas terhadap infeksi virus (Issacs dkk, 1982). Inflamasi, edema dan produksi mucus yang bertambah, timbul dan menghilang lebih lambat daripada timbul dan menghilangnya bronkospasme. Tergantung pada keseimbangan antara reaksi yang lambat dan cepat itulah kesan penemuan klinis didapat. Anak dengan reaktifitas otot bronkus yang kurang tetapi produksi lendirnya lebih banyak akan menunjukkan batuk produktif yang lama dan ditemukan sebagai bronchitis kronik.
Bronchitis kronik vs Asma
            Asma harus dipertimbangkan sebagai diagnosis yang paling mungkin bila menghadapi anak dengan gejala seperti bronchitis kronik. Williams dan McNicol (1969) menemukan kesamaan klinis, patologi dan epidemiologi antara bronchitis dengan mengi atau bronchitis kronik dan asma. Burrows dkk (1975) mendapatkan bahwa pada 74% anak yang didiagnosis sebagai bronchitis kronik terdapat mengi, sedangkan batuk kronik hanya terdapat pada 33%. Demikian pula gambaran yang didapat dari penelitian Taussing dkk (1981), Raharjoe dkk (1984) dan dari laporan Hamman dkk (1975) bahwa bronchitis kronik pada anak sering didiagnosis atau ditemukan bersana diagnosis asma. Tetapi harus diingat bahwa seperti jug a batuk, mengi adalah gejala yang tidak spesifik. Mengi hanya menunjukkan adanya penyempitan saluran nafas dan tidak tergantung pada bagaimana mekanisme terjadinya. Lenny dan Milner (1978) menemukan adanya hiperaktivitas pada 87% anak prasekolah dengan bronchitis dan mengi. Koning dkk (1972, 1973) selain mendapatkan hiperaktivitas juga menemukan riwayat atopi dalam keluarga anak dengan bronchitis dan mengi. Sibbald (1980) menemukan bukti lebih lanjut ketika mendapatkan angka kejadian asma dalam keluarga anak asma. Agaknya factor yang membedakan bronchitis kronik dengan mengi dan asma adalah apakah inflamasi saluran nafas atau bronkospasme yang lebih menonjol saat anak itu didiagnosis. Cloutier dan Loughlin (1981) mendapatkan pula suatu kenyataan bahwa batuk kronik merupakan gejala asma satu-satunya karena tidak didapatkan gejala mengi.


Akibat jangka panjang
            Banyak penyelidikan yang menghubungkan bronchitis kronik sebagai factor terjadinya gangguan fungsi paru dan gejala gangguan sasluran nafas kronik. Bland dkk (1974) menunjukkan bahwa pada anak dengan riwayat bronchitis sebelum umur 5 tahun mempunyai resiko lebih tinggi terhadap bronchitis, pilek, mengi, batuk dan produksi dahak pada umur 11 tahun. Wollcock dkk (1979) menunjukkan bahwa pada anak yang pada masa bayinya menderita bronchitis, dikemudian hari terjadi kemungkinan terjadi gangguan saluran nafas kronik akan lebih besar kalau merokok. Burrows dkk (1977) mendapatkan hubungan antara penyakit saluran nafas pada anak dan gangguan fungsi paru setelah umur 2o tahun; juga didapatkan bahwa merokok mempercepat penurunan fungsi paru. Penemuan-penemuan tersebut mendukung pendapat bahwa bronchitis kronik pada anak tidak dapat dianggap enteng karena dapat merupakan factor predisposisi yang penting terhadap terjadinya kelainan paru kronik dan gangguan fungsi paru pada masa dewasa dan merokok dapat memperburuk keadaan tersebut. Pencegahan penyakit paru terhadap anak dapat merupakan sumbangan yang besar dalam pencegahan penyakit paru kronik pada orang dewasa.
Penatalaksanaan
            Berhubung banyaknya persamaan dan hubungan yang erat antara anak dengan gejala seperti bronchitis kronik dengan asma maka untuk tujuan pendekatan pengobatan sebaiknya dimasukkan dalam varian asma dan mendapat pengelolaan seperti asma (lihaat bab asma)
            Sebelum sampai pada diagnosis asma perlu disingkirkan kemungkinan penyakit-penyakit yang termasuk dalam diagnosis banding. Bila ditemukan penyakit tertentu diluar asma maka obati penyakit dasarnya.
BRONKIOLITIS AKUT
            Penyakit ini merupakan suatu sindrom obstruksi bronkiolus yang sering diderita bayi dan anak kecil yang berumur kurang dari 2 tahun. Angka kejadian tertinggi rata-rata ditemukan pada usia 6 bulan.
Etiologi
            Bronkiolitis akut sebagian besar disebabkan oleh Respiratory Syncytial Virus (50%). Penyebab lainnya ialah Parainfluenza Virus, Eaton agent (Mycoplasma pneumonia), adenovirus dan beberapa virus lain.
Patogenesis
            Invasi virus menyebabkan obstruksi bronkiolus akibat akumulasi mucus, debris dan edema. Terjadi resistensi aliran udara pernapasan berbanding terbalik (dengan radius lumen pangkat empat), baik pada fase inspirasi maupun fasee ekspirasi. Terdapat mekanisme klep yaitu terperangkapnya udara yang menimbulkan overinflasi dada. Pertukaran udara yang terganggu menyebabkan ventilasi berkurang dan hipoksemia, peningkatan frekuensi napas sebagai kompensasi. Pada keadaan sangat berat dapat terjadi hiperkapnia. Obstruksi total dan terserapnya udara dapat menyebabkan atelektasis.
            Gangguan respiratorik jangka panjang pasca bronkiolitis dapat timbul batuk berulang, mengi, dan hiperaktivitas bronkus, yang cenderung membaik sebelum uisa sekolah. Komplikasi jangka panjang lain yaitu bronkiolitis, obliterans dan sindrom paru hiperlusen unilateral (Sindrom Swyer James), sering dihubungkan dengan adenovirus.
Manifestasi klinis
Bronkiolitis akut biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas, disertai dengan batuk pilek untuk beberapa hari, biasanya tanpa sertai kenaikan suhu atau subfebril. Anak mulai mengalami sesak nafas, makin lama makin hebat, pernafasan dangkal dan cepat dan disertai dengan serangan batuk. Terlihat juga pernafasan cuping hidung disertai retraksi interkostal dan suprasternal, anak gelisah dan sianotik. Pada pemeriksaan terdapat suara perkusi hipersonor, ekspirium memanjang disertai dengan mengi (wheezing)
Ronki nyaring halus kadang-kadang terdengar pada akhir ekspirium atau pada permulaan ekspirium. Pada keadaan yang berat sekali, suara pernafasan hamper tidak terdengar karena kemungkinan obstruksi hampir total. Foto rontgen thoraks menunjukkan paru-paru dalam keadaan hipererasi dan diameter antero posterior membesar pada foto lateral. Pada spertiga penderita ditemukan bercak-bercak konsolidasi tersebar disebabkan etelektasis atau radang.
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan gambaran darah tepi dalam batas normal, kimia darah menunjukkan gambaran asidosis respiratorik maupun metabolic. Usapan nasofaring menunjukkan flora bakteri normal.
Diagnosis dan diagnosis banding
            Diagnosis ditegakkan atas dasar gambaran klinis yang khas seperti tersebut di atas. Keadaan ini harus dibedakan dengan asma yang kadang-kadang juga timbul pada usia muda. Anak dengan asma akan memberikan respon terhadap pengobatan dengan bronkodilator, sedangkan anak dengan bronkiolitis tidak. Bronkiolitis juga harus dibedakan dengan bronkopneumonia yang diserta emfisema obstruktif dan gagal jantung.
Pemeriksaan Penunjang
v  Foto dada AP dan lateral: hiperin flasi paru, diameter anteroposterior membesar pada foto lateral, dapat terlihat bercak konsolidasi yang tersebar.
v  Analisi gas darah: hiperkarbia sebagai tanda air troaping, asidosis metabolic, atau respiratorik.
v  Pemeriksaan deteksi cepa antigen RSV yang dapat dikerjakan secara bedside.
\
Prognosis
            Anak biasanya dapat mengatasi serangat tersebut sesudah 48-72 jam. Mortalitas kurang dari 1%. Anak biasanya meninggal karena jatuh dalam keadaan apnu yang lama, asidosis respiratorik yang tidak terkoreksi atau karena dehidrasi yang disebabkan oleh takipnea dan kurangnya makan minum. Komplikasi seperti otitis media akut, pneumonia bacterial dan gagal jantung jarang dijumpai.

Penatalaksanaan
a)      Oksigen 1-2L/menit.
b)      IVFD:
·         Neonates: dektrose 10%:NaCl 0,9%=4:1, +KCl 1-2 mEq/BB/hari
·         Bayi >1 bulan: dektrose 10% : NaCl 0,9%= 3:1, + KCl 10 mEq/500 ml cairan. Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu, dan status hidrasi
c)      Koreksi gangguan asam basa dan elektrolit.
d)     Antibiotic sebenarnya tidak diperlukan, tetapi karena sukar dibedakan dengan pneumonia interstisialis, antibiotic tetap diperlukan.
Untuk kasus bronkiolitis community base:
·         Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian.
·         Kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian.
Untuk kasus bronkiolitis hospital base:
·         Sefotaksim 100 mg/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian.
·         Amikasin 10-15 mg/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian.
Ø Steroid: deksametason 0,5 mg/kgBB inisial, dilanjutkan 0,5 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis.
Ø Inhalasi dengan salin normal dan beta agonis untu memperbaiki transport mukosilier.
Anak harus ditemptkan dalam ruangan denagn kelembaban udara yang tinggi, sebaiknya dengan uap dingin (mist tent). Keadaan ini dapat mencairkan secret bronkus yang liat. Untuk tujuan ini dapat juga diberikan pengobatan inhalasi. Oksigen perlu diberikan walaupun anak belum dalam keadaan sianosis. Cairan intravena dengan elektrolit yang diprlukan diberikan untuk mengoreksi asidosis respiratorik dan metabolic yang mungkin timbul dan juga untuk mengoreksi kemungkinan dehidrasi. Antibiotic diberikan apabila tersangka ada infeksi bakteri dan sebaiknya dipilih yang mempunyai spectrum luas. Bila dicurigai Mycoplasma pneumonia sebagai penyebabnya, obat yang terpilih ialah eritromisin. Tentang pemberian steroid belum ada keseragaman. Pemberian sedativum tidak diperkenankan, Karena dapat menimbulkan depresi pernafasan. Bila dianggap perlu dapat diberikan kloralhidrat. Bronkodlitor juga tidak dianjurkan dan sebetulnya merupakan indikasi kontra, karena dapat memperberat keadaan anak. Penderita dapat menjadi lebih gelisah dan keperluan oksigen akan meningkat.
Secara umum, penanganan bronkiolitis dapat dirangkum sebagai berikut:
Keparahan
Tanda
Penanganan
Ringan
  • Anak sadar, warna kulit merah muda
  • Dapat makan dengan baik
  • Saturasi oksigen > 90%. Saturasi oksigen diketahui dengan alat sederhana di kantor dokter atau RS
Dapat ditangani di rumah dengan istirahat dan makan lebih sering dalam porsi kecil. Dapat dilakukan kunjungan follow-up ke dokter dalam 24 jam.
Sedang
Salah satu di antara: 
  • Kesulitan makan
  • Lemah
  • Kesulitan bernapas, digunakannya otot-otot bantu pernapasan
  • Adanya kelainan jantung atau saluran napas
  • Saturasi oksigen < 90%
  • Usia kurang dari enam bulan
Bawa ke RS, di RS akan dilakukan: 
  • Pemberian oksigen
  • Pemberian cairan intravena mungkin diperlukan
  • Observasi setiap jam
Berat
Seperti kriteria untuk kategori sedang, namun: 
  • mungkin tidak membaik dengan pemberian oksigen
  • menunjukkan episode terhentinya napas
  • menunjukkan tanda kelelahan otot pernapasan atau terkumpulnya terlalu banyak karbon dioksida dalam tubuh. 
  • Monitor jantung dan pernapasan
  • Mungkin membutuhkan perawatan di ICU
  • Membutuhkan tes darah untuk mengetahui kadar berbagai zat dalam darah





0 komentar:

Posting Komentar